REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
Tindakan
anarkis serta kekerasan pada masyarakat sepertinya sudah menjadi cara
akhir dalam menyelesaikan segenap permasalahan. Padahal, jika kita
renungkan, permasalahan yang terjadi hanya dipicu oleh persoalan sepele.
Memang
jika kita jujur, tindak kekerasan terjadi di kota-kota besar dan bahkan
di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Baik yang terjadi di masyarakat
sipil, Aparat Kepolisian hingga Aparat Negara. Yang kita takutkan
adalah, mengutip Ariyanto Nurcahyono dalam artikel ”Kekerasan sebagai
fenomena budaya”, yang sangat mengkhawatirkan tindakan kekerasa sudah
dianggap suatu kewajaran.
Gejala ini terlihat ketika mayoritas
media massa kita senang menayangkan tema-tema kekerasan. Kecenderungan
itu berlangsung secara terus-menerus dan setiap saat maka akibatnya
manusia menjadi tidak peka bahkan menjadi mati rasa terhadap gejala
serta prilaku kekerasan. Ditambah masih adanya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap Aparat Penegak Hukum.
Jadi cara main ’hakim
sendiri’ yang kian marak di masyarakat kita merupakan gejala yang
sangat mengkhawatirkan. Padahal ketika masyarakat sudah menganggap
wajar tindakan kekerasan maka itu harus dilihat sebagai gejala krisis
sosial, krisis kemanusiaan, dan krisis moralitas.
Satu hal yang
mungkin dapat dipakai untuk pokok bahan renungan kita semua tanpa
kecuali rasa persaudaraan sesama anak bangsa saat ini sudah memudar.
Ikatan-ikatan persaudaraan sesama anak bangsa sedikit demi sedikit kian
hilang. Egoisme dan fanatisme sempit kian menguat. Sehingga
memporak-porandakan ikatan persaudaraan antar sesama warga.
Tali
persaudaraan akan tercapai apabila jalinan persaudaraan sesama warga,
mahluk ciptaan Allah SWT, terbina. Persaudaraan yang dimaksud bukan
hanya sebatas antar sesama muslim akan tetapi dengan seluruh warga
masyarakat yang boleh jadi sangat plural. Maka sikap terbuka dan
toleran menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah ungkapan yang populer namun
sering mendapat pemaknaan yang keliru adalah ukhuwah Islâmiyyah.
Ungkapan ini sering dipahami sebagai “persaudaraan antar sesama
muslim”. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Alquran.
Persaudaraan
yang diajarkan Alquran tidak sebatas sesama Muslim, namun juga ukhuwah
‘ubudiyyah (persaudaraan dalam ketundukan kepada Allah), ukhuwah
insāniyyah/basyariyyah (persaudaraan antar sesama manusia), ukhuwah
wathaniyyah wa al-nasab (persaudaraan sebangsa dan seketurunan) dan
ukhuwah fī dīn al-Islām (persaudaraan antar sesama). Agar tercipta
suatu masyarakat rukun ialah yang terpenting adalah peranan dari
pemerintah langsung dan partisipasi masyarakat itu sendiri sehingga
terciptanya suatu konsep masyarakat ideal.
Masyarakat rukun juga
dipahami segenap tingkah laku manusia yang dianggap sesuai; tidak
melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi
langsung dengan tingkah laku umum, dan terpenting tidak adanya
kekerasan di ranah publik.
Dalam konteks membangun kehidupan
masyarakat sipil yang berahlak mulia dengan prinsip saling menghormati
dan saling menghargai adalah dengan mengakui adanya perbedaan suku,
agama, keyakinan, etnis dan latarbelakang masyarakat itu sendiri.
Termasuk juga menghargai cara pandang dan cara pikir antar satu
masyarakat dengan masyarakat lain. Meski berbeda-beda, tetap satu.
Untuk
dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan dan pengetahuan
yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan serta mendukung
keberadaan dan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Pendidikan multikultural di sini sangat penting, agar rasa fanatisme
tidak berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena patut kita akui,
rasa fanatisme berlebihan itu kerap menimbulkan sesama warga saling
ejek, saling merendahkan. Akibatnya, terjadi tindak kekerasan yang
berujung pada kerusuhan. Rasa fanatisme boleh saja, asal
diimplementasikan dalam bentuk karya kreativitas. Misalnya, dengan
membuat kerajinan, atau produk-produk unggulan lainnya.
Tentunya
melalui pendidikan multikulturalisme menjadi suatu kebutuhan. Pemberian
materi-materi multikulturalisme di setiap sekolah bisa menjadi pintu
masuk untuk memperkuat fondasi dan ideologi multikulturalisme.
Pelajaran multikulturalisme di sekolah-sekolah juga sebagai pencegah
terjadinya konflik sosial antar sukubangsa dan tindak kekerasan yang
berbau etnis ataupun berbau organisasi etnis. Sehingga warga memiliki
kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara, sebagai warga
sukubangsa dan kebudayaannya
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar